Sabtu, 22 Maret 2014

Kenaikan Pendapatan, Kenaikan Semu


Bismillah...

Pernah terpesona dengan janji kenaikan-kenaikan penghasilan yang dilontarkan oleh parpol lewat programnya?
Saya ingin memberikan opini dari sudut pandang orang yang kurang terpesona dengan hal tersebut. Bila kita sempat melihat iklan parpol yang gembar-gembor di tv sekarang ini, ada parpol yang programnya kira-kira seperti ini... “Penghasilan rakyat harus bisa berkali-kali lipat dari penghasilan rata-rata sekarang.” sekilas terdengar bagus... TAPI? apakah sebagus itu?
Mari kita pikir bila berurusan dengan keuangan. Apakah benar terlihat bagus? sepertinya TIDAK sepenuhnya! bila itu karena inflasi, ya sama saja... oke deh, inflasi kita abaikan bila memang itu akan selalu terjadi dan beralih ke faktor lain. Diabaikan? Maksud loe? Okeh, misalnya begini,


negara A= negara paling tinggi penghasilan rata2nya. penghasilan rata2=5.000, biaya hidup utama rata2 (mis. makan, minum, pendidikan, transport)=3500.
ada lagi, negara B= penghasilan rata2=2500. biaya hidup utama rata-rata=1000.

Saya kira tanpa berpikir panjang tentu saja sudah jelas mana yang lebih bagus dan lebih sangar… mana yang lebih sangar hayo?

Disamping itu, bukan hanya penghasilan rata-rata deh yang menjadi dasar bagusnya negara ini, penggunaan uang untuk biaya pokok juga masuk faktor juga, belum lagi, persentase yang kira2 bisa dibuat tabungan juga perlu dihitung kan. Kalau penghasilan sekarang 1000 jadi 5000. Biaya pokok utama dari 800 menjadi 4200. Yo… ngerti dhewe lah.

Sebaran data penghasilan juga masuk faktornya loh. Maksudnya seperti ini… dalam statistika kan data yang terdistribusi normal itu data-datanya ya mendekati rata-rata. Misalnya aku beri 2 macam data:
1. penghasilan 5 orang yakni 2300, 2500, 2800, 2400, 2500.
2. penghasilan 5 orang yakni 500, 4500, 2700, 900, 3900.
Coba dihitung berapa rata-ratanya? Sama, bukan? 2500. Akan tetapi, penghasilan data 1 lebih terdistribusi normal daripada data 2. Data nomor 2 sebaran nilainya terlalu menyimpang.

Yang terjadi pada data nomor 2  jelas merupakan permasalahan kesenjangan. Kasus di atas hanya salah satu dari sekian banyak kesenjangan, misalnya kesenjangan ekonomi, kesenjangan pendidikan, kesenjangan infrastruktur, kesenjangan fasilitas umum, kesenjangan pangan…
Kesenjangan-kesenjangan ini tentu membuat masyarakat ‘tidak tahan lagi’ akan program2 hasil manuver-manuver politik. Ujung-ujungnya paling maju tak gentar membela yang bayar… money politic. Naudzubillah…

Bagaimana secara teknis bisa mengurangi kesenjangan… saya kira teknokrat bisa mengambil kebijakan pendistribusiannya. Yang jelas, uang negara jangan dikorupsi! Ini faktor utama.


Kesenjangan Pendidikan?
Kesenjangan Pendidikan ini juga masih menjadi problem. Lucunya, berita yang muncul siswa2 di daerah kota yang pendidikan dan fasilitasnya mantap malah tawuran, siswa2 di pelosok desa rela bangun subuh, menyeberang sungai demi bisa mendapatkan pendidikan agar mereka bisa sejajar dengan siswa siswa yang mendapatkan fasilitas pendidikan yang lebih bagus.

Di beberapa wilayah Kalimantan, misalnya Banjarmasin. Saya diberi tahu kalau disana listrik dimatikan untuk menghemat energi. Padahal kita tahu bahwa Kalimantan letak Perusahaan-perusahaan Batubara. Itu sumber energi kan? Tapi listrik kok mati? mungkin saja sekarang sudah tidak begitu lagi ya. #semoga

Pengurangan kesenjangan ditinjau dari Kas Negara, lebih dari 70% kan dari pajak. Pajak yang lebih besar dibebankan pada pihak yang memiliki penghasilan yang lebih besar, ini bisa menjadi jalan untuk melakukan distribusi pendapatan. Dan ingat, bahwa uang itu akan kembali ke rakyat. Karena itu, JANGAN SAMPAI ADA KORUPSI! Uang itu bisa sebagai subsidi dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok. Bisa menjadi modal untuk investasi potensial mengelola sumber daya alam. Bukannya memberikan kontrak pada asing untuk mengelola sumber daya alam. Kalau pihak asing yang mengelola, berarti negara ini tidak lagi berdaulat, dong?

Saya miris, badai konsumsi teknologi yang terus datang sehingga kita mengimpor barang-barang teknologi, bukan hanya itu, Indonesia masih juga impor bahan-bahan pokok. Pendapat saya:

“BILA TIDAK MEMILIKI KOMPETENSI TEKNOLOGI, NEGARA INI HARUS BERDAULAT DALAM KOMODITAS DAN SUMBER DAYA ENERGI”

Sumber daya energi di Indonesia sangat potensial.  misal: batu bara, minyak bumi.

 Akan tetapi, meski tidak memiliki kompetensi mumpuni dalam teknologi, bukan berarti Negara ini diam.  Alangkah bagusnya bila negara ini menggiatkan riset, ya, RISET! Utamanya riset dalam pangan, bahan bakar, transportasi, lebih sangar lagi teknologi informasi dan komunikasi. 

Ayo bangsa Indonesia, semoga ke depan kita bisa Ciptakan Kedaulatan Pangan!
 

tambang

Terakhir nih, yang penting dan menarik untuk menjadi pertimbangan pemerintah. Kasus-kasus kenaikan harga karena tingginya permintaan pada momen tertentu, misalnya bulan ramadhan, pergantian tahun, dll harusnya bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Agar harga bisa stabil. Bila tidak stabil, Pemerintah impor lagi… bisa-bisa korupsi lagi… aduh!
Permasalahan ini saya prediksi bisa diminimalkan dengan pemberian subsidi untuk produksi pada barang-barang pokok. Misalnya pemberian subsidi pupuk untuk Beras dan jagung yang lebih intens dan sangat besar pada momen tertentu agar barang tersebut dapat diproduksi banyak dengan biaya rendah, permintaan pasar terpenuhi. Harga pasar tidak sampai naik signifikan.

Kembali mengenai rata-rata 2500 dan biaya hidup utama, bagi saya sangat terasa sewaktu jadi anak kos. Dengan uang Rp5000, tahun pertama bisa dapat nasi, telur, tempe, sayur, beberapa tahun kemudian, Rp5000 dapat nasi telur saja sudah bagus banget!


Sekadar opini, bukan kampanye jadi Caleg atau Capres yo Rek…

Salam Sangar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar